Mutiara
di Pelupuk Mata
Depok,
02 Februari 2018
Senja
yang indah, ketika mentari mulai kembali ke peraduannya. Semburat jingga
menghiasi langit sore itu, bak lukisan tangan Tuhan yang indah memesona. Angin
sepoi-sepoi meniup halus dedaunan pohon di halaman Rumah Gemilang Indonesia.
Embusan udaranya sejuk menyusup melalui rongga hidung dan mengalirkannya ke
seluruh tubuh melalui si merah darah. Maka,
nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?
Seindah
sore itu, kami mengikuti semua rangkaian kegiatan harian dengan penuh semangat.
Pukul 17.45, aku bersama santri yang lain bersiap di mushola menanti panggilan
Illahi Rabbi yang selalu indah ketika dikumandangkan. Ayat-ayat suci bergema
ketika dilantunkan oleh lisan-lisan yang selalu merindukan Sang Maha Pencipta.
Ketika diresapi, maknanya semakin meluruh dalam jiwa.
Pukul
18.15, panggilan Illahi Rabbi mulai menggema. Ada perasaan yang tak dapat
kuungkapkan manakala adzan itu berkumandang. Indah nian rasanya. Ketika suara
adzan selesai berkumandang, kami sesegera mungkin mengambil posisi saff
masing-masing. Merapatkan barisan serapat-rapatnya. Kak Fatma bertugas untuk
menjadi imam maghrib itu. Suaranya lantang ketika memulai takbiratul ihram. Aku
berusaha khusyuk ketika sholat, karena pada saat itulah, seorang hamba dekat
dengan Tuhan-Nya.
Pukul
18.35, adalah waktu kami untuk mengikuti kegiatan SCC yang langsung dipimpin
oleh Ustadz Makhrus. Beliau sangat berwibawa. Malam itu, kami mengkaji kitab
Rawatib Al-Athos. Dengan dipandu oleh beliau, kami mengikuti setiap bacaannya
dengan khidmat.
Selesai
kajian Rawatib Al-Athos, Ustadz Makhrus menyampaikan pengumuman kepulangan
santri. Aku dan teman-teman mendengarkannya dengan saksama seakan tak ingin
ketinggalan info walau satu kata.
“Setelah
saya beristikharah, ternyata yang datang ke dalam mimpi saya adalah perempuan.
Yang tadinya saya mengizinkan santri putra untuk pulang minggu ini, ternyata
hasilnya berbeda dari yang saya ucapkan.” Ucap Ustadz Makhrus. Kami semakin
antusias. Tidak sabaran menanti kata-kata yang hendak dilontarkannya kembali.
“Jadi,
untuk kepulangan minggu ini, saya putuskan untuk santri putri yang pulang lebih
awal. Karena biasanya santri putra itu lebih kuat untuk menahan kerinduan.”
Lanjut beliau yang disambut hangat oleh santri putri. Sorak-sorai terdengar
memenuhi aula RGI. Ucapan hamdallah bersahutan. Di barisan tengah, aku tiada
henti mengucap syukur kepada-Nya. Mata ini seakan ingin pecah menahan embun
kebahagiaan.
Jumat
malam di Asrama II putri
Semesta
seakan merasakan kebahagiaan kami. Langit hitam berpadu dengan
bintang-gemintang bertaburan di angkasa sana. Bulan pun ikut menghiasi langit
malam itu. Dinginnya udara malam menusuk meresapi kalbu. Aku dan teman-teman
berlarian berburu surat izin pulang. Pihak management hanya mengizinkan 20
orang untuk bisa pulang minggu itu. Tanpa berpikir panjang, segera kuburu tiket
pulang itu ke asrama I. Surat izin perpulangan sudah berada di tangan GM putri.
Bak semut merah yang tengah mengerubungi kembang gula, kami melingkar
mengerubungi Kak Rahma--GM putri, untuk meminta surat izin yang sudah
ditandatanganinya.
Setelah
tiket pulang kudapat, kembali kuberlari ke asrama II. Tanpa diintruksi dua
kali, kuambil tas yang berukuran agak besar dan kusiapkan barang-barang yang
hendak kubawa ke kampung halaman. Baju yang tidak kupakai, mukena, dan barang
pribadi lain yang kubutuhkan, semuanya kumasukkan ke dalam tas. Begitu pula
dengan teman-teman lain yang hendak pulang. Kami baru bisa tidur pukul 22.45
setelah berdiskusi terlebih dahulu untuk merencanakan transport perpulangan.
Ketika hendak memejamkan mata, wajah ibu seakan terlukis di sana. Tak terasa,
ada bulir-bulir mutiara di pelupuk mata. Kerinduan pada ibu sungguh sangat
menggebu. Tapi, kesadaranku seketika hilang dimakan rasa kantuk malam itu.
***
Sabtu,
03 Februari 2018
Dini
hari itu, ketika kebanyakan insan tengah terlelap di pembaringannya, aku harus
sesegera mungkin untuk membuka mata. Jika aku terbuai tidur dan terlena dalam
mimpi, barangkali aku akan kehilangan moment bermanja-manjaan dengan-Nya.
Suhu
udara di asrama II terasa dingin di
sepertiga malam itu. Tambahkan 16 derajat celcius suhu AC, semakin menusuk-nusuk
kulitlah kedinginannya. Aku bangkit dari pembaringan untuk menuju kamar mandi.
Semakin terasa dingin ketika memasukinya. Semua penghuni asrama masih terlelap
dalam bunga tidurnya. Sunyi, sepi, menyeruak di sana. Namun, kulawan rasa
dingin dan takut itu dengan berwudhu. Ada kesejukan yang mengalir dalam jiwa
manakala air wudhu itu meresap ke pori-pori tubuh.
Setelah
mengambil air wudhu, aku bergegas menuju mushola RGI di bawah. Sebelum
melangkah keluar kamar, aku membangunkan teman-teman yang tidak berhalangan
untuk sholat tahajjud bersama. Setelah kupastikan ada yang bangun, barulah
kulangkahkan kaki menuju ridha-Nya. Kuadukan semua kerinduanku di sana.
Kuadukan semua keluh-kesahku pada-Nya. Di sanalah moment yang paling tepat
untuk bermanjaan dengan Sang Maha Penyayang.
Ketika
hendak tiba waktu shubuh, teman-teman mulai datang silih berganti. Aku diberikan
tugas sebagai imam shubuh itu. Dengan berusaha khusyuk, kumulai sholat dengan
melafadzkan takbiratul ihram. Aku memilih surat Al-Ma’un dan Al-Kautsar pada
dua rakaat shubuh itu. Dalam hati, kumeminta pada Allah agar Dia berkenan
menerima sholat kami.
Sawangan,
pukul 6 waktu setempat, di luar dugaan, malam hari yang indah itu berganti
dengan dinginnya pagi. Hujan mengguyur kota Depok. Suara guntur menggelegar
mengejutkan kami. Aku khawatir, kalau-kalau aku tidak bisa pulang hari itu.
Tapi, segera kutepis bayangan-bayangan yang memenuhi kepala dengan cepat.
Pagi
hari di pantry RGI, asramaku kebagian piket masak. Aku dan teman-teman
mengerjakan semuanya dengan penuh semangat. Karena apa? Karena pagi itu pula,
handphone kami dibagikan. Dua jam berlalu, nasi dan masakan yang kami masak
selesai dibuat. Segera kami bagikan makanan itu untuk sarapan pagi para santri.
Kulihat jam, pukul 08.30. aku masih belum siap-siap. Segera kukembali ke
asrama. Tetiba di sana, kutoleh ke sekitar. Teman-teman sedang sibuk dengan
androidnya masing-masing. Aku segera menyerbu kamar mandi untuk membersihkan
diri.
Setelah
mandi dan bersiap-siap, kusempatkan untuk sarapan dan sholat dhuha. Pukul
09.45, kami berangkat menuju stasiun Depok Baru. Aku berangkat dari RGI menuju
Depok Baru dengan menaiki go-car yang sebelumnya sudah dipesan oleh temanku.
Aku berangkat bertujuh bersama teman seasrama. Ada Ofi, Kak Oliv, Kak Odi, Aul,
Kak Fatma, dan Nini. Kami menunggu di depan halaman RGI. Sepersekian menit
kemudian, sebuah mobil hitam meluncur di depan kami. Kata Pak Sopir, mobil
hanya muat untuk 6 orang. Kami bernegosiasi dengan pak sopir untuk bisa
mengizinkan kami naik bertujuh. Setelah dibujuk, akhirnya pak sopir pun
menganggukkan kepala tanda setuju.
Ketika
di dalam mobil, kami sibuk dengan handphone masing-masing. Aku membuka WA.
Banyak pesan masuk di sana. Kubuka satu persatu, ada pesan yang membuatku
tersantak. Kubuka pesan masuk dari keponakanku.
“Bi,
Kyai Haji Mukhlis wafat tadi malam.” Pesan masuk itu dikirim dari tanggal 17
Januari 2018 dan baru kebuka 17 hari kemudian.
Aku
terdiam tak dapat berkata apa-apa. Bibirku kelu. Air mata menggenang menutupi
kornea. Kita tak pernah tahu, kapan ajal menjemput. Namun yang pasti, Allah
selalu mengambil hamba-Nya yang sholih untuk kembali lebih dulu kepada-Nya.
Karena
berbeda tujuan, aku berpisah bersama yang lain di stasiun Depok Baru. Kelima
temanku membeli tiket kereta menuju Jakarta, sementara aku dan Aul membeli
tiket perjalanan KRL jurusan Bogor. Aku
membeli tiket KRL pulang pergi seharga 16 ribu rupiah. Kereta merapat tepat di
depan pandanganku pukul 11.45. Ketika berhenti, suara khas pintu kereta
mendesis pelan. Senang sekali mendengar desisannya. Kami naik di peron ujung
yang dikhususkan untuk wanita. Aul turun di stasiun Cilebut. Dan aku kembali
melanjutkan perjalanan menuju stasiun Bogor. Kuamati sekitar, mereka sibuk
dengan dirinya masing-masing. Ada yang sibuk dengan androidnya, pun ada pula
yang terlelap tidur.
“Sebentar
lagi kereta Anda akan tiba di tujuan akhir stasiun Bogor. Penumpang yang hendak
turun, mohon periksa kembali tiket dan barang bawaan Anda, agar tidak
tertinggal dalam kereta atau pun merasa kehilangan. Mintalah bantuan petugas
apabila akan mengambil barang Anda yang terjatuh di peron yang tinggi.”
Suara
announcer KRL terdengar indah manakal mengucapkan kalimat tersebut. Aku
bersiap-siap untuk turun. Pelan-pelan, pintu kereta kembali mendesis. Dan
dengan hati-hati, kulangkahkan kaki keluar dari gerbong kereta.
***
Mentari
berada tepat di atas kepala ketika kaki ini berpijak di stasiun Bogor. Hawa
panas membakar wajah. Tubuhku seakan terpanggang karena panasnya suhu udara
siang itu. Perjalanan itu adalah perjalanan yang paling berkesan bagiku, karena
aku berangkat ke luar kota seorang diri. Ada perasaan bangga kala itu.
Aku
segera mencari angkot jurusan Sukasari. Kutanyakan pada sopir yang berada di
sekitar stasiun, dan aku diberikan kemudahan untuk mendapatkan angkot yang
kutuju. Ketika berada di dalam angkot, sesekali aku meminum air putih yang
kubawa dari asrama. Dinginnya air itu sangat membantu menghilangkan dahagaku. Aku
duduk berhadapan dengan seorang pemuda. Usianya sepantaran denganku. Dia
mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih dipadu dengan celana pendek di
atas lutuk dengan warna senada. Aku agak risih melihatnya. Merasa tidak nyaman.
Dan aku memilih untuk tidur.
Tiba
di terminal Sukasari, aku turun. Aku memberikan selembaran uang 5 ribu dan
dikembalikan 1 ribu rupiah. Lumayan murah untuk jarak yang sangat jauh itu. Aku
melihat jam di handphone. Pukul 13.35. dan aku belum melaksanakan sholat
dzuhur. Segera kucari masjid di sekitaran terminal. Dan aku menemukannya. Aku
sholat di masjid Jami Nurul Huda Sukasari.
Setelah
selesai sholat, segera kupercepat langkah untuk mencari angkot jurusan Cicurug.
Dan lagi-lagi, Allah memudahkannya dengan menghadirkan angkot tujuanku tepat di
depan mata. Jalanan sekitar macet parah. Dan aku memutuskan untuk tidur. Pukul 15.25,
aku tiba di pasar Cicurug. Dan aku kembali mencari mesjid untuk melaksanakan
sholat ashar.
Aku
kembali melangkahkan kaki mencari angkot jurusan terakhir--Cidahu. Aku tidak
sabaran ingin segera sampai di rumah. Jalanannya lumayan lancar. Pukul 16.40,
aku tiba di pangkalan ojeg. Dan aku segera naik ojeg menuju halaman rumah. 5
menit perjalanan dengan ojeg, akhirnya yang kurindukan berada tepat di depan
mata. Aku segera berlari memburu pintu setelah kubayar ongkos ojeg sebesar 7
ribu rupiah. Dari sana, aku tidak bisa membendung embun-embun di pelupuk mata.
Aku menangis tersedu ketika disambut oleh ibu dan keluarga di rumah. Aku
kembali merasakan pelukan hangat seorang ibu yang sangat kusayangi. Aku bahagia
dan sangat bersyukur karena bisa sampai dengan selamat.
Aku
segera dipersilakan untuk makan. Menu yang kuinginkan adalah mie instan. Dengan
lahap, kusantap mie itu dengan penuh kenikmatan. Aku juga memburu kamar
tercinta. Kurasakan kehangatan di sana. Ada aroma tersendiri ketika kuberada di
sana.
Cidahu,
05 Februari 2018
Aku
harus segera bersiap untuk kembali ke RGI. Aku tidak kuasa untuk berangkat
kembali meninggalkan rumah. Aku merasakan rindu sebelum berpisah. Ibu
memberikanku bekal dan makanan. Ibu berkata, “Di mana pun umi berada, Euis
selalu ada di dalam mata umi, selalu ada dalam doa-doa umi.” Aku tidak kuasa
mendengarnya. Dan aku menangis sejadi-jadinya. Tapi aku kembali menguatkan
diri. Aku harus membahagiakan umi dan keluarga. Dan akhirnya, aku berangkat
pada pukul 12.30. umi dan keluarga melepas kepergianku dengan tangisan dan doa.
Aku
diantar oleh kakakku dengan menaiki motor menuju Sukasari. Di tengah
perjalanan, hujan deras mengguyur bumi. Tapi, aku melanjutkannya walau basah
kuyub. Sesampainya di terminal Sukasari, hujan pun berhenti. Dan aku kembali
menaiki angkot nomor 10 jurusan stasiun. Tiba di stasiun, aku segera berlari
menanti kedatangan kereta. Jam 14.55, kereta pun tiba. Dan aku menaiki kereta
di peron ujung.
Sampai
di stasiun Depok Baru, aku segera pergi ke mushola untuk melaksanakan sholat
ashar. Setelah selesai sholat, kulangkahkan kaki menuju ITC. Ketika hendak
menempelkan tiket kereta, aku tidak bisa masuk. Kucoba berkali-kali, hasinya
tetap gagal. Aku dihampiri oleh pak satpam. Dia bilang, tiket keretaku sudah
kadaluarsa. Di sana, aku bingung musti berbuat apa. Aku ingin menangis
sejadi-jadinya. Kubujuk bapak satpam itu. Akhirnya, dia bilang, aku harus
membayar uang sebesar 50 ribu kalau mau keluar dari sana. Dalam keadaan pikiran
kalut, aku berikan selembaran uang 50 ribu itu padanya. Rasanya, air mataku
ingin tumpah waktu itu. Tapi, aku tahan karena malu pada orang-orang di
sekitar.
Aku
memesan ojeg online untuk menuju RGI. Sepanjang perjalanan, aku menangis.
Rasanya, aku ingin berada kembali di pelukan ibuku. Dan lagi-lagi aku kembali
menguatkan diri. Aku sampai di RGI pada pukul 17.10. Karena aku datang
terlambat, akhirnya aku mendapat hukuman oleh Pak Heri. Maka, sempurnalah
perjalanan itu.
Komentar
Posting Komentar