Langsung ke konten utama

Cicak Pengoyak Masa Pahit

Cicak Pengoyak Masa Pahit — Cerpen Euis Astri Safitri
Malam ini, agaknya semesta kembali memihakku. Awan hitam tebal menyelimuti langit yang menggantung gagah tanpa tiang. Bulan-bintang seakan enggan menampakkan diri, ogah walau hanya sekadar menyapa say hello. Sesekali, kilat menyambar memotret langit untuk kemudian lenyap dan disusul oleh suara guntur yang memenuhi gendang telinga. Seakan tak ingin terkalahkan, hujan pun meluncur begitu derasnya–membuat makhluk di bumi gentar. Maka, sempurna-lah kerjasama di antara mereka.
Di sudut ruangan tak ber-AC, kurebahkan raga di atas kasur merah tak berranjang dengan ber-sepraikan kain hijau motif bunga. Kuambil sehelai kain batik panjang yang berderet di atas tumpukan baju-baju. Kuamparkan kain itu di tubuh untuk sekadar menyelimuti kulit yang menggigil kedinginan. Kusandarkan kepala di bantal biru, menatap kosong langit-langit dari anyaman bambu. Satu-dua laba-laba tengah unjuk kebolehan menguntai jaring. Saling gantung-menggantunglah jaringan laba-laba itu di langit-langit kamar.
Tetapi, hei, lihatlah! Ada sesuatu yang lebih menarik lagi malam ini. Aku mendongakkan kepala ke atas sana. Sepasang muda-mudi cicak tengah asyik memadu-kasih di dinding hijau daun itu. Keduanya saling kejar-mengejar bak artis India di film Bollywood–berlari-lari manja di hamparan bunga sambil mendendangkan nada. Sesekali, mereka saling menyiulkan “ckckckckckckck”, boleh jadi mengatakan “aku mencintaimu, aku menyayangimu”. Ah, agaknya sepasang cicak itu tengah memanasiku.
Anganku terbang…
***
Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara sesuatu. “Siapa?” Bathinku. Tanpa pikir panjang, kulangkahkan kaki menuju asal-muasal suara tersebut. Sekelabat, mata nakal melirik ke arah bingkai kaca. Terlihat sebuah vespa kelabu terparkir di halaman depan. Suara itu kembali muncul. “Sebentar”, ucapku lantang. Dengan sigap, aku memegang gagang pintu. Kunci diputar. Krek. Daun pintu terbuka.
Ah, ternyata yang sedari tadi mengetuk pintu adalah Oliv, sahabat karibku. Dia tertawa renyah sampai terlihat kawat giginya, menyilaukan. Tapi, tunggu. Ada seorang lain di belakangnya. Seorang-muda bertopi hitam, dengan jaket berwarna senada, dan jeans biru tua. Siapa? Lagi-lagi kata tanya itu yang melesat–penasaran. Demi membunuh rasa penasaran itu, kucoba mengoyak memori otak. “Barangkali orang itu sudah ter-save di sana”. Benakku.
Ting!
Selang 30 sekon, akhirnya mulai terdeteksi. Seorang-muda bertopi hitam itu memang pernah ter-save di memori. Rafa. Memori memberi isyarat bahwa seorang-muda yang berada di samping Oliv itu bernama Rafa–pria yang pernah menjadi “secret admirer”-nya Oliv. Namun, bagaimana mungkin Oliv bersamanya? Rasa penasaranku mulai menggila.
“NADIRA!!” Oliv berteriak. Suara cemprengnya sungguh membuatku terperanjat. Lamunanku pecah. Oliv menatap aneh, sebal. Bibirnya sempurna manyun. Bagaimama tidak? Dua menit setelah kehadiran suara “tok, tok, tok” itu, dua menit setelah daun pintu dibuka, aku hanya berdiri takzim di bawah pintu. Berusaha menyelidik sosok pria itu via memori–tanpa mempersilakan keduanya masuk. Aduh, parah.
“Mari masuk, kenapa malah mematung di situ?” Aku terkekeh.
“Untung saja mood aku lagi oke. Kalau nggak, sudah kulahap kau! Huh, dasar!” Ucap Oliv setengah jengkel seraya duduk di kursi itu.
“Hehehe..” Kembali terkekeh. “Ah, ya, mau minum apa? Air putih, jus, apa teh manis? Hmm, tunggu-tunggu. Sepertinya teh manis kurang cocok, kita kan sudah manis. Jus? Apalagi. Hmm, air putih kayaknya lebih sehat, pas banget buat masa pemutihan.”
“Alah, bilang saja hanya ada air putih. Gitu aja kok repot. Sudah sana!” Oliv sempurna jengkel. Melemparkan bantal kursi itu yang hampir mengenai wajahku. Rafa yang duduk di sebelahnya hanya bisa tertawa menyaksikan tingkah laku kami.
***
Oliv mulai menceritakan asal-usul kedekatannya bersama Rafa. Dia memilih menghabiskan waktu di kamarku setelah Rafa berpamitan pulang. Oliv ingin melepas rindu dengan bantal-guling di singgasanaku, ujarnya. Oliv panjang-lebar menceritakan secret admirer-nya yang kini tengah menjalin kasih dengannya. Dia memutuskan kuliah selepas kelulusannya di SMK. Pun dengan Rafa yang merupakan juniornya. Entah suatu kebetulan atau apa, kini mereka berada di kampus yang sama, fakultas sama, dengan jurusan yang sama pula — Sastra Indonesia. Bukan sesuatu yang impossible bila kedekatannya kini semakin cetar membahana.
Oliv menceritakan kisah secret admirer-nya dengan sangat detail. Seakan tak ingin ketinggalan walau hanya se-inchi. Baginya, merupakan suatu anugerah terindah saat Rafa mengetahui bahwa Oliv-lah yang selalu mengirimnya surat , novel remaja, bahkan peci sebagai kado ulang-tahunnya. Ah, ternyata kisah cintanya yang didambakan sejak SMK itu bukan hanya bualan semata. Ckckck.
“Dir, kapan kau akan melepas masa jomblo yang kauemban sekian lama itu?” Celetuk Oliv, nyinyir. Aku terdiam–terpojokkan.
Selepas kandasnya monkey love story masa remaja itu, aku memang lebih memilih menyendiri tanpa tambatan hati. Lebih sering menyibukkan diri mencari jati diri. Apalagi ketika sudah berkepala dua, bukan sosok “pacar” yang dinanti, melainkan sosok nahkoda cinta, yang mampu mengarungi bahtera rumah-tangga, di lautan asmara keluarga, hingga maut memisahkan raga. Komitmenku.
“Kapan kau nikah?” Oliv kembali bertanya, penuh tawa.
“Tujuh hari lagi.” Jawabku singkat-padat, tanpa melirik Oliv sekedip pun. Mencorat-coret kertas krem itu semenjak Oliv mencurahkan isi hatinya.
“What? Serius?” Oliv sempurna kaget. Kalimat tujuh hari lagi yang kuucapkan mampu menyemburkan serbuk sagon yang tengah dikunyahnya bersamaan dengan dimuntahkannya kata “what” dari mulutnya. Bagai gunung api vulkanik yang meletus menyemburkan lava dan laharnya, serbuk sagonnya berceceran menyiprati lantai. Untung saja tidak sampai tersedak. Kalau sampai itu terjadi, bisa runyam urusannya. Aku tertawa terbahak. Memberinya minum.
“Kau bergurau, kan?” Selidiknya kembali–kepo.
“Serius. Minggu depan aku mau married. Mungkin terkesan terburu-buru. Tapi ini pilihannya. Kamu  tahu ibu tiriku, kan? Dia mempunyai banyak hutang pada juragan durian kampung sebelah. Hutangnya sudah menggunung. Aku juga gak tahu uangnya dipakai buat apa. Yang jelas, akulah yang dijadikan jaminannya. Dipaksa nikah dengan seorang tua yang hampir berkepala lima itu.” Hiks. Seketika tawa itu berubah menjadi nestapa. Aku tertunduk menatap lantai. Sebutir embun di pelupuk mata menghujam bumi, disusul oleh butiran lainnya.
“Aduh, Nadira, kenapa baru cerita sekarang?” Oliv berusaha mengangkat kepalaku. Kedua tangannya memegangi pipiku. Aku menatapnya dengan linangan air mata.
“Tidak, ini sama-sekali bukan pilihannya. Kamu berhak menentukan hidupmu sendiri. Pernikahan itu bukan COC yang bisa dimainkan kapan pun oleh siapa pun. Ini tentang hidupmu. Tentang masa depanmu. Tentang kebahagiaanmu. Masih banyak cara untuk bisa keluar dari masalah ini. Jangan menyerah dengan keadaan. Jangan pernah mengorbankan hati dan perasaanmu, Nadhira! Aku yakin, masih banyak pria terbaik yang Allah pilihkan untuk kamu, Dhira! Bukan bujangan lapuk itu! Oliv meluap-luap penuh emosi. Aku menangis tersedu memeluk Oliv. Gundah memikirkan kata-kata yang diluapkannya. Aku harus apa?
***
Hari ini, tepat seminggu setelah curhat yang mengharu-biru bersama Oliv, acara itu benar-benar telah di ambang mata. Ibu tiriku menyambutnya dengan gegap-gempita–penuh suka-cita. Rumah sederhana disulap layaknya istana. Dinding rumah dibalut kain biru senada warna langit. Kursi pelaminan dihiasi lampu kerlap-kerlip, bunga warna-warni memenuhi background-nya. Meja perasmanan dipenuhi makanan hangat siap santap. Di dapur, para ibu tengah sibuk bergulat dengan pisau, spatula, wajan, dan sejenisnya pada posisi masing-masing. Semerbak aroma masakan mengudara–menggoda perut siapa pun yang mencium baunya. Lebih dari itu, anak-anak saling berkejaran di halaman rumah, berjoged ria diiringi musik klasik Sunda. Kursi-kursi plastik yang berjejer rapi telah diduduki oleh satu-dua orang yang ingin menyaksikan acara sakral itu. Terpajang pula karangan bunga bertuliskan “Selamat Datang, Mohon Doa Restu”. Sempurna-lah sesuatu yang disebut “resepsi pernikahan itu”.
Namun, tidaklah sempurna jika acara yang megah nan mewah itu tanpa adanya calon mempelai pria dan wanita. Di sini, di ruangan yang telah didekorasi sedemikian rupa itu, aku duduk termangu menatap cermin. Hei, lihatlah wanita di cermin itu. Dia amat cantik memesona. Dengan berbalut kebaya putih berlapiskan manik-manik keemasan, kerudung dihiasi putihnya melati, wanita itu semakin bercahaya. Aura kecantikan memancar indah dari wajahnya. Namun, tiada yang dapat disembunyikan. Matanya menyimpan suatu beban. Beban masa depan. Seketika, buliran mutiara mengalir deras di pelupuk mata–membasahi pipi mulusnya. Benar, itu aku. Sungguh, di tengah riuh-gaduh keceriaan mereka, duka justeru tengah bersemayam dalam jiwa-ragaku. Bagai ditimpa bencana dahsyat masa depan, perasaan kacau-balau, gundah-gulana. Di tengah hati dan pikiran tengah berkecamuk itu, ceramah Oliv seminggu lalu semakin menghujam jiwa.
Oliv benar, masih banyak pilihan lain yang lebih pantas, dan ini sama-sekali bukan pilihanku. Satu-satunya jalan keluar untuk terhindar dari “resepsi neraka” ini adalah dengan melarikan diri. Naluriku. Tanpa pikir panjang, aku mencari celah di sudut-sudut ruangan mungil. Lemari. Iya, aku ingat sekali ruangan ini ada celah kecil dibalik lemari yang menuju ruang kosong bagian belakang rumah. Seketika, aku mengunci daun pintu. Kugeser perlahan lemari baju yang menutupi celah itu. Lemari tergeser. Celah itu mulai nampak bersinar terkena sinar mentari yang menerobos melalui bingkai jendela. Dengan bersusah-payah, aku menerobos celah kecil yang menuju ruang kosong itu. Berhasil. Aku dapat melewatinya. Dengan sigap, aku berusaha menaikkan kaki ke atas bingkai jendela di ruangan kosong itu. Sekali lagi, berhasil.
***
Hujan deras mengguyur tenda pernikahan tanpa diduga. Petir bergemuruh membuat suasana semakin gaduh. Suara petasan menggelegar menyambut tamu undangan. Rombongan besan telah hadir memenuhi kursi tamu. Pun calon mempelai pria berkepala lima itu — duduk manis di kursi megah spesial yang telah disediakan. Amil, wali, dan para saksi sudah bersiap menunggu. Dengan tidak sabaran, ibu tiriku mengedipkan mata–memberi isyarat kepada salah seorang pagar ayu untuk menjemput calon mempelai wanita. Celaka. Setelah menyisir kamar pengantin, pagar ayu itu kembali melapor, berbisik “pengantin wanita kabur!” Ibu tiriku tekejut, terperanjat. Kaget. Orang-orang sekitar yang mendengar kabar buruk itu syok–menutup mulut, memegang kepala. Bujangan lapuk itu marah. Wajahnya memerah, menyuruh para ajudannya untuk menyisir lingkungan sekitar. Tidak ada.
Dengan berbekal keberanian yang tinggi, aku menembus deraian air hujan yang meluncur deras dari langit. Aku berlari kencang. Tak peduli meski halilintar terus menyambar. Kebaya putih itu basah. Pun melatinya. Anak-anak yang sempat melihatku, berteriak “Pengantin kabur! Pengantin kabur!” Semua orang geram, mengejar. Aku terus memompa energi, terus berlari meski tanpa alas kaki. Berlari menuju masa depan yang lebih cemerlang. Di detik-detik terengahnya napas, aku berlari sekuat tenaga. Pertolongan-Nya datang. Melalui sosok wanita berkawat gigi dengan vespa kelabunya.
***
Plukk! Sesuatu menghantam pipiku. Dingin, basah, menebarkan aroma bau yang menyengat. Apa ini? Kucoba merabanya. Perlahan-lahan. Tanganku menyentuhnya. Ah, sialan! Sepasang cicak itu benar-benar telah menghinaku. Sempurna mengusik kisah masa pahit–tujuh tahun silam. Dan membuyarkannya kembali dengan menjatuhkan bom atom berbau menyengat itu. Menyebalkan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mutiara di Pelupuk Mata

Mutiara di Pelupuk Mata Depok, 02 Februari 2018 Senja yang indah, ketika mentari mulai kembali ke peraduannya. Semburat jingga menghiasi langit sore itu, bak lukisan tangan Tuhan yang indah memesona. Angin sepoi-sepoi meniup halus dedaunan pohon di halaman Rumah Gemilang Indonesia. Embusan udaranya sejuk menyusup melalui rongga hidung dan mengalirkannya ke seluruh tubuh melalui si merah darah. Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan? Seindah sore itu, kami mengikuti semua rangkaian kegiatan harian dengan penuh semangat. Pukul 17.45, aku bersama santri yang lain bersiap di mushola menanti panggilan Illahi Rabbi yang selalu indah ketika dikumandangkan. Ayat-ayat suci bergema ketika dilantunkan oleh lisan-lisan yang selalu merindukan Sang Maha Pencipta. Ketika diresapi, maknanya semakin meluruh dalam jiwa. Pukul 18.15, panggilan Illahi Rabbi mulai menggema. Ada perasaan yang tak dapat kuungkapkan manakala adzan itu berkumandang. Indah nian rasanya. Ketika suara a

Tutorial Membuat Video di Powerpoint

Assalaamu'alaikum, sahabat.. Jumpa kembali bersama saya. Kali ini, saya akan membagikan ilmu tentang Tutorial Membuat Video di Powerpoint . Seperti yang telah kita ketahui bahwa Powerpoint merupakan alat bantu terkemuka yang terus mengalami peningkatan kemampuan karena fungsinya yang dapat mempermudah seseorang untuk melakukan presentasi. Powerpoint juga dapat mengubah presentasi menjadi video. Dengan mengubahnya dalam bentuk video, Anda tidak perlu khawatir slide yang sudah Anda buat akan disalahgunakan. Anda juga bisa menambahkan berbagai animasi dan audio pilihan ke dalam video yang nantinya dapat disimpan secara sempurna dan dapat di-upload ke YouTube . Berikut tutorial membuat video di powerpoint: Bukalah presentasi yang sudah Anda buat dengan menggunakan powerpoint. Jika belum ada, silakan dibuat terlebih dahulu. Setelah terbuka, silakan klik File , lalu pilih Save As . Pada jendela baru yang terbuka, klik save as type >> Windows Media Video Jangan lupa un